Analisis Sosiologi Terhadap Kejahatan














            Berdasarkan sosiologi, kejahatan disebabkan karena
kondisi-kondisi dan proses-proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku
perilaku social lainnya[1].
Analisis terhadap kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua
kesimpulan, yaitu pertama, tedapat hubungan antara variasi angka kejahatan
dengan variasi organisasi-organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi.
Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan
organisasi-organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi. Maka,
angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan
kelompok-kelompok social mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses
misalnya, gerak social, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideology
politik, agama, ekonomi, dan seterusnya.





            Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan
proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini
bersifat social psikologis. Beberapa ahli menekankan pada beberapa bentuk
proses seperti imitasi, pelaksanaan peranan social, asosiasi difrensial,
kompensasi, identifikasi, konsepsi diri pribadi, dan kekecewaan yang agresif
sebagai proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Sehubungan
dengan pendekatan sosiologis tersebut diatas, dapat diketemukan teori-teori
sosiologis tentang perilaku jahat.





            Salah satu diantara sekian teori tersebut adalah teori
dari E.H. Sutherland[2]  yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku
jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku
jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain dan orang tersebut
mendapatkan perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan
orang-orang yang berperilaku dengan kecenderungan melawan norma-norma hukum
yang ada. Sutherland menyebutnya sebagai proses asosiasi diferensial karena
yang dipelajari dalam proses tersebut sebagai akibat interaksi dengan pola-pola
perilaku jahat, berbeda dengan yang dipelajari dalam proses interaksi dengan
pola-pola perilaku yang tidak suka pada kejahatan. Apabila seseorang menjadi
jahatm hal itu disebabkan orang tadi mengadakan kontak dengan pola-pola
perilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap pola-pola
perilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut.





            Selanjutnya dikatakan bahwa bagian  pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi
dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat
komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, filkm, televise, radio
memberikan pengaruh-pengaruh tertentu, yaitu dalam memberikan sugesti kepada
orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.





            Untuk mengatasi masalah kejahatan tadi, kecuali tindakan
preventif, dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan
teknik rehabilitasi. Menurut Cressey[3].
Ada dua konsepsi mengenai teknik rehabilitasi tersebut. Konsepsi pertama
menciptakan orang-orang jahat tersebut. System serta program-program tersebut
bersifat reformatif, misalnya hukuman bersyarat, hukuman kurungan, serta
hukuman penjara. Teknik kedua lebuh ditekankan pada usaha agar penjahat dapat
menjalani hukuma bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan
diberikan konsultasi psikologis. Kepada para narapidana di lembaga-lembaga
permasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan-latihan untuk menguasai
bidang-bidang tertentu supaya kelak stelah masa hukuman selesai punya modal
untuk mencari pekerjaan di masyarakat





            Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adlah
white collar crime yang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan
bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang
terlalu cepatm dan yang menekankan pada aspek material-finansial belaka. Oleh
karena itu, pada mulanya gejala ini disebut business crime atau economic
criminality. Memang, White Collar Crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh
pengusaha atau para pejabat di dalam menjalankan perkanan fungsinya. Keadaan
keuangannya yang relative kuat memungkinkan mereka untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan
sebagai kejahatan. Golongan tersebut mengangggap dirinya kebal tehadap hukum
dan sarana-sarana pengendalian social lainnya karena kekuasaan dan keuangan
yang dimilikinya sangat kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka sehingga
dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat white collar terletak pada
kelemahan korban-korbannya.


Masalah diatas memang
terkenal rumit karena menyangkut paling sedikit beberapa aspek sebagai berikut
:


a.                  
Siapakah lapisan tertinggi masyarakat
yang karena profesi dan kedudukannya mempunyai peluang untuk melakukan
kejahatan tersebut.


b.                 
Apakah perbuatan serta gejala-gejala
yang dapat dikualifikasikan sebagai white collar crime?


c.                  
Faktor-faktor social dan individual apa
yang menyebabkan orang berbuat demikian?


d.                 
Bagaimanakan tindakan – tindakan
pencegahannya melalui sarana-sarana pengendalian social tertentu?





            Sebenarnya Faktor- faktor individual tak akan mungkin
dipisahkan dari Faktor-faktor social, walaupun dapat dibedakan. Namun demikian
faktor-faktor ini akan dibicarakan terhadap tersendiri, semata-mata dari segi
praktisnya.[4]
Penelitian-penelitian terhadap faktor ini belum banyak dilakukan, karena
sulitnya memperoleh data dasar tentang white collar crime tersebut. Beberapa
hasil penelitiannya yang telah dilakukan di beberapa Negara eropa menunjukan,
bahwa dorongan utama adalah masalah kebutuhan. Hal ini sebenarnya tidak dapat
dipisahkan dari faktor social. Mungkin 
dorongan tersebut sama saja dengan dorongan yang ada pada stratum
rendah, yaitu golongan blue collar. Namun ada suatu perbedaan yaitu bahwa
dorongan pada golongan lapisan tertinggi terletak pada kemampuan untuk memenuhi
keinginginan-keinginginannya . Lagipula kebutuhan mereka terang lebih besar
daripada kebutuhan golongan strata rendah. Juga kedudukan serta peranan meraka
memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.





            Mengenai latar belakang sosialnya, mekara berasal dari
keluarga pada umumnya tidak mengalami gangguan. Walaupun kadang-kadang ayah
tidak melakukan peranannya sebagai seorang ayah yang baik, sejak kecil, dia
tidak dididik untuk dapat mengendalikan keinginan-keinginannya dalam memperoleh
apa yang dibutuhkan. Setelah semakin dewasa, keinginan-keinginan tersebut
bertambah banyak yang mau dipenuhi, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sangat kecil. Kecerdasannya
cukup tinggi, orangnya praktis, tetapi tidak mempunyai prinsip-prinsip moral
yang kuat ( kesusilaan yang kuat ).





            Faktor-faktor individual tersebut diatas dapat saja
dimiliki oleh tipe penjahat lain. Akan tetapi, yang justru yang membedakannya
adalah kedudukan dan peranan yang melekan padanya. Peluang-peluang yang dapat
disalahgunakan justru tersedia karena kedudukannya tersebut.





            Suatu studi yang pernah dilakukan di Yugoslavia misalnya
memberikan petunjuk bahwa timbulnya white collar crime karena situasi social
memberikan peluang. Situasi tersebut justru dimiliki oleh golongan yang seyogyannya
memberikan contoh teladan kepada masyarakat luas. Di dalam situasi demikian
terjadilah kepudaran pada hukum yang berlaku sehingga timbul suasana yang penuh
dengan peluang-peluang dan kesempatan-kesempatan. Situasi tesebut menyebabkan
warga masyarakat mulai tidak memercayai nilai dan norma-norma hukum yang
berlaku.[5]











[1]
Donald R Gressey, Crime dalam Contemporary Social Problems, hlm. 53 dan
seterusnya




[2]
E.H Sutherland dan Dr. Cressey, Principles of Criminologi, hlm. 74




[3]
Donald R. Cressey, op cit, hlm. 69




[4]
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, hlm 323





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Analisis Sosiologi Terhadap Kejahatan"

Posting Komentar