KLIK DAFTAR & LOGIN SCATTER78

Contoh Penerapan Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia










Pidato Presiden 16 Agustus



 Di Indonesia banyak ditemukan
Konvensi ketatanegaraan yang dipraktikan sejak dulu sampai sekarang. Contohnya
adanya kebiasaan penyelenggaraan pidato kenegaraan Presiden pada rapat
paripurna DPR-RI tanggal 16 Agustus setiap tahun, baik yang berlaku sejak wal
masa pemerintahan Presiden Soeharto maupun yang berlaku sampai sekarang. Di
masa pemerintahan Presiden Soekarno, pidato kenegaraan semacam ini dilaksanakan
langsung di hadapan rakyat di depan Istana Merdeka pada setiap 17 agustus,
sekaligus dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan . Pidato Presiden Soekarno di
depan istana tersebut biasanya disebut sebagai amanat  17 Agustus. Beberapa sarjana dan juga
Presiden Soekarno sendiri menyatakan bahwa pidatonya itu merupakan bentuk
pertanggungjawabannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, bukan sebagai Presiden


            Namun, setelah masa orde baru,
pidato kenegaraan tersebut diubah menjadi pidato kenegaraan didepan rapat
paripurna DPR-RI, dan fungsinya dikaitkan dengan penyampaian nota keuangan
dalam rangka rancangan APBN oleh Presiden kepada DPR-RI. Dengan demikian, fungsi
Pidato Presiden tersebut berubah menjadi pidato yang bersifat lebih teknis, dan
bukan lagi sebagai pidato yang bersifat simbolik dan sekaligus kerakyatan
sehingga tepat disebut sebagai pidato kenegaraan yang diadakan khusus satu kali
dalam setahun dalam rangka perayaan hari kemerdekaan.


            Hal ini diteruskan sampai sekarangan
sehingga timbul persoalan mengenai keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah setelah
terbentuk sebagai lembaga tersendiri di samping Dewan Perwakilan Rakyat, namun
untuk mengatasi hal itu, diadakan pengaturan sehingga Presiden juga dijadwalkan
menyampaikan pidato kenegaraan yang tersendiri di hadapan Dewan Perwakilan
Daerah, yaitu pada setiap akhir bulan Agustus. Pidato di depan DPD tersebut
juga dimanfaatkan untuk menyampaikan keterangan pemerintah mengenai APBN,
khususnya yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah di Indonesia.[1]


            Contoh lainnnya yaitu ketika awal
kemerdekaan, dapat dikemukakan bahwa menurut pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945,
Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden karena ia adalah pembantu
Presiden. Dalam Perkembangan ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945, ternyata
ketentuan yang menyatakan bahwa Menteri Negara harus bertanggung jawab kepada
Presiden karena konvensi ketatanegaraan, diubah menjadi bertanggung jawab
kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Pada masa itu,
BP-KNIP ini berfungsi sebagai semacam Dewan Perwakilan Rakyat yang menjalankan
tugas-tugas yang bersifat legislatif.                                                                                                       Hal
ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil Presiden No.  X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian
diikuti dengan maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, di mana Komita
Nasional Indonesia Pusat yang semula membantu Presiden dalam menjalankan
wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945,
menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, dan sebagai tempat Menteri Negara
bertanggung jawab, Dengan Demikian, system pemerintahan yang semula menganut
system presidensil berubah menjadi system pemerintahan parlementer. Hal ini
dapat dilihat dalam cabinet Syahrir I, II, III, serta cabinet Amir Sjarifudin
yang menggantikannya.





            Konvensi ketetenegaraan pernah
menjadi pertimbangan MK dalam putusan perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
tanggal 18 Pebruari 2009, dalam uji materi Pasal 3 Ayat (5) UU No. 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. MK dalam pertimbangan
hukumnya berpendapat sebagai berikut: “Bahwa terhadap Pasal 3 ayat (5) UU
42/2008 Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan
prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut
yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut
dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika
hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa
menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD”. Pengalaman
yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD
didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik
Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu.
Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi
ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang
seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun di negara lain









0 Response to "Contoh Penerapan Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia"

Posting Komentar